Selalu ada cela diri pembatas kalbu agar tak terlalu melangit, Selalu ada noda nurani tuk ingatkan diri agar tetap membumi, Selalu ada cacat pikir tunjukkan kelemahan insan sejati...
Segalanya berasal dari hati...
Saat hati benar-benar berinteraksi hanya pada Sang Pemilik Hati,
Sungguh ketenangan, kebahagiaan dan ketenteraman akan menghiasi..
Tak terlihat baginya sejumlah kelebihan yang ia miliki melainkan dari Sang Sempurna..
Pikir itulah yang membuatnya bersahaja sebagai insan...Tak pantas mengaku diri suci, dan merasa tak layak dicaci...Pikir itulah yang membuatnya sederhana sebagai hamba...Merasa harus banyak belajar makna ikhlas dalam dada...Pikir itulah yang membuatnya bersujud, merendah diri...Mengaku pada Sang Maha Kuat, tanpa-Nya ia hanyalah kerdil...
Segalanya berasal dari hati,Tapi hanya Sang Maha Kuasa yang tahu maksud dalam kalbu, Perihal hati hanya diri sendiri dan Rabb yang tahu...
Tetap terjagalah teman,Kuasai hatimu, agar benar-benar berada dalam kendalimu...
Ikhlas tak dapat terdeteksi oleh setan, malaikat bahkan oleh nafsumu sekalipun Karena ikhlas adalah urusan Rabb dengan hamba-Nya...
Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini sangat mudah, indah, dan jauh lebih bermakna.
Seseorang yang ikhlas akan merasakan ketentraman jiwa, ketenangan batin.
Sikap hidup yang ikhlas membuat batin menjadi kaya dan hidup lebih enteng untuk dijalani. lkhlas mencerminkan adanya kesadaran atau kemauan untuk mengerjakan segala sesuatu dengan maksimal dan melakukan introspeksi untuk perbaikan-betapapun beratnya beban yang harus dipikul. Secara spiritual, ikhlas merupakan sikap dan perilaku manusia dengan kecerdasan transendental yang tinggi.
Tetaplah berpegang teguh pada buhul-Nya.
Mintalah perlindungan pada sebaik-baik Penjaga Hati...
Dengan begitu kau akan merasakan makna,
Untuk apa kau berjuang dan kepada siapa kau berkorban (“Nyawa mung gaduhan, bandha donya mung sampiran”),
"Ialah Tuhan yang Maha Agung Segala Puji mutlak hanya MilikNya".
"Idz qaala rabbuka lilmalaa-ikati innii khaaliqun basyaran min thiinin fa-idzaa sawwaytuhu wanafakhtu fiihi min ruuhii faqa'uu lahu saajidiina".
Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali membagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS Ar-Ra'd: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS Al-Qiyamah: 2)
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhai, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS Al-Fajr: 27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaan-Nya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS Asy-Syams: 7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi—akal perolehan (akal mustafad)—ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (surga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.
Hati Sukma (Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS Al-A'raaf: 179)
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat—suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dzulmani—hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy-Syams: 8-9)
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.
Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadah, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dzulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dzulmani.
"Bukan penampilan fisik-duniawi-raga yang akan mengantarkan manusia mencapai derajat mulia di sisi Sang Gusti. Wujud lahiriah hanyalah wadah bagi sukma. Jasad akan kembali menjadi tanah, sementara sang roh akan kembali marak sowan kepada Yang Maha Wikan.
"Melalui penampilan duniawinya yang tidak sempurna seperti menegaskan bahwa kemuliaan seseorang terletak pada keluhuran akhlak, budi pekerti, ilmu dan ketakwaannya kepada Gustinya. Sekalipun hanyalah abdi namun mampu menjadi guru dan pembimbing bagi para tuannya.
"Kapasitas dan ketinggian ilmunya tidak lantas menyebabkan bernafsu menguasai dunia. Jiwanya lebih memilih tetap menjadi abdi yang menancapkan kemuliaan dan kebenaran kepada setiap insan agar bumi ini dipenuhi kedamaian dan ketentraman.
Wallahu a’lam bishshawwab...